peranan PENDIDIKAN ISlam dalam PERUBAHAN SOSIAL
MENUJU MASYARAKAT RELIGIUS
MAKALAH
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Dosen:
SUPARTO, M.Ed, Ph.D
Disusun Oleh :
FAIJAH (14116310010)
PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SMT II
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI
CIREBON
2012
KATA PENGANTAR
Segala
puja dan puji bagi Allah yang Maha Agung dan Maha Sempurna atas semua
sifat-Nya.
Shalawat dan salam kepada Rasulullah, Muhammad
SAW, yang telah memberi petunjuk jalan yang benar.
Syukur alhamdulillah penulis telah
menyelesaikan tugas ini dengan judul Peranan Pendidikan Islam dalam
Perubahan Sosial menuju Masyarakat Religius untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada
program studi Pendidikan Islam konsentrasi Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Dalam penulisan tugas ini diusahakan
semaksimal mungkin kearah kesempurnaan dengan bimbingan bapak dosen, namun
demikian kiranya perlu disadari bahwa masih terdapat beberapa kekurangan.
Untuk itulah
penulis dengan segala rendah hati mohon kiranya ada kritik dan saran demi perbaikan selanjutnya.
Akhirnya
penulis berharap semoga penulisan tugas ini bermanfaat bagi para pembaca pada
umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
P e n u l i s
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………… i
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
………………………………………………… 2
A.
Teks
Ayat ………………………………………………… 3
B.
Asbabunuzul
Ayat ………………………………………… 4
C.
Peranan
Guru dalam Pengajaran
.………………………………. 4
D.
Rasul
sebagai Role Model bagi Guru dalam Pengajaran ……..….
8
BAB III PENUTUP ………………………………………………… 13
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….… 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
adalah segala kegiatan yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi
kehidupan. Pendidikan berlangsung di segala jenis, bentuk, dan tingkat
lingkungan hidup, yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada
di dalam diri individu, sehingga mampu mengubah dan mengembangkan dirinya
menjadi dewasa, cerdas, dan matang. Dalam langkah kegiatan pendidikan
selanjutnya, ketiga sasaran tersebut, menjadi kerangka kebudayaan hidup
manusia.
Islam
adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk
senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam
sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para
masyarakat dalam menunjang pradaban hidup mereka karena itulah pada banyak masyarakat selalu mendapatkan problematika yang
bermacam-macam yang datang secara langsung maupun tidak langsung dari komunitas
yang dijadikan sebagai sasaran dakwah.
Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan
wawasan dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini
masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar
menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan
masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan
melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai
tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia sangat pesat
yang dimulai dari masuknya dari daerah Aceh dengan tujuan menyebarkan agama
dakwah dengan menjual rempat-rempah.
Menurut
Emile
Durkheim (
1964) r
uang lingkup perubahan sosial meliputi
unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah
pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur
immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi
dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi lain dari perubahan sosial adalah
segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut
adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana
perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya.
Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang
mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur
geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat,
perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila
diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin
karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan.
P
enyebab
perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu
faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat
sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru,
pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar,
peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sungguh
sangat memprihatinkan. Berbagai macam kasus atau perilaku sosial yang amoral
sering kali terjadi, mulai dari perampokan, pelecehan seksual, pencurian,
minum-minuman keras, narkoba, kekerasan dan lain sebagainya. Padahal, di
Indonesia banyak lembaga-lembaga pendidikan. Seharusnya dengan adanya lembaga
pendidikan maka kondisi bangsa juga akan menjadi baik.
Hal di atas sungguh sangat paradoks. Di satu
sisi Indonesia mempunyai banyak lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Taman
Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi (PT). Namun di sisi lain, Indonesia
mengalami dekadensi moral. Sehingga menjadikan situasi sosial masyarakat tidak kondusif.
Lebih-lebih masyarakat Indonesia adalah
mayoritas muslim, dan juga mayoritas pelaku kejahatan sosial juga mengaku
dirinya muslim. Satu hal yang menjadi tanda tanya besar. Kenapa bangsa
Indonesia yang mayoritas muslim masih banyak ditemukan kejahatan-kejahatan di
masyarakat?.
Menurut penulis letak kesalahannya adalah pada
pendidikan moralnya yang kurang optimal. Dalam hal ini, pendidikan Islam memegang peranan penting untuk merubah kondisi sosial
masyarakat Indonesia. Karena Islam adalah agama yang telah menyebarkan
nilai-nilai sosial mulia, seperti nilai moralitas, humanitas dan religiusitas.
Maka sudah saatnya pendidikan Islam sadar akan perannya di tengah kondisi
bangsa yang morat-marit ini.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk
mengangkat judul Peranan Pendidikan Islam dalam perubahan Sosial Menuju
Masyarakat Religius dengan harapan,
pendidikan islam bisa lebih diperhatikan lagi oleh para praktisi pendidikan
demi kontribusi yanng berarti untuk meningkatkan kualitas moral bangsa.
A. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di
atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana peranan
pendidikan Islam dalam perubahan sosial menuju masyarakat religius.
B.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui bagaimana peranan pendidikan Islam dalam perubahan sosial menuju
masyarakat religius.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Pendidikan Islam, Perubahan Sosial dan Masyarakat
1.
Pendidikan
Islam
Menurut Sismono La Ode, pendidikan merupakan
proses pendewasaan anak melalui berbagai program dan kegiatan dalam konteks,
baik formal maupun non formal. Dan hasil akhir pendidikan adalah pembentukan
insan yang berkualitas, berakhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, mandiri dan berguna bagi sesama manusia, masyarakat dan bangsanya.
Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan
Islam, yatiu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Pertama, kata raba yarbu, yang
berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata rabia yarba, yang berarti tumbuh dan
berkembang. Ketiga, kata raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai,
memimpin, menjaga dan memelihara. Firman Alah yang mendukung istilah tarbiyah
antara lain terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 24.
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹
Artinya: Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".
Istilah kedua adalah ta’lim, yaitu proses
pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan
fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Adapun istilah ta’dib berasal
dari kata adab yang berarti berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat
bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan
berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat
dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi
jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab
mencakup pengertian ilmu dan amal.
Sementara itu, terma pendidikan Islami dapat
dipahami sebagai proses pewarisan atau usaha sadar muslim dalam mewariskan
pengalaman, ajaran, dogma, dan tradisi kepada generasi berikutnya. Dalam terma
pendidikan Islami, tidak terbatas pada pewarisan ajaran yang sesuai dengan
teks-teks agama tetapi juga tradisi, dogma, kebiasaan, pengalaman, dan hal-hal
yang baik yang pernah dilakukan oleh komunitas muslim masa lalu. Jadi, pendidikan
di kalangan dunia Islam tidak terbatas pada mempelajari teks-teks agama,
melainkan juga pada tradisi, pandangan, dan praktik-praktik transformasi
pengetahuan serta cara mewariskan pengetahuan, ilmu, dan keyakinan.
2. Perubahan
Sosial
Perubahan
sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
masyarakat dalam hubungan sosial sebagai perubahan terhadap keseimbangan
(equilibrium) hubungan sosial. Perubahan-perubahan sosial sebagai variasi dari
cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Perubahan sosial merupakan segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang
mempengruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola
perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Ada tiga tahapan perubahan
masyarakat. Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada
pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik
(political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena adanya
pemilahan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberikan layanan dan perlindungan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, tahap masyarakat tunggal,
yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun. Ketiga, tahap
masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan
tersebut. Masyarakat etis, yakni masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis,
bukan oleh kepentingan bendawi. Pendidikan pada masyarakat sebagai alat
transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam mempengaruhi
manusia.
3. Masyarakat
Menurut Quraish Shihab, masyarakat
adalah kumpulan sekian banyak individu baik kecil maupun besar yang terikat
oleh satuan, adat, ritus, atau hukuman khas, dan hidup bersama. Ada beberapa
kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk arti masyarakat atau kumpulan
manusia, yaitu qaum, ummah, syu’ub, dan qabail. Di samping itu al-Quran juga
memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu seperti, al-mustakbirun,
al-mustadh’afun dan lain sebagainya.
Manusia adalah ‘makhluk sosial’.
Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami
sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut. Khalaqal insaan min
‘alaq bukan saja diartikan sebagai ‘menciptakan manusia dari segumpal
darah’ atau ‘sesuatu yang berdempet di dinding rahim’, tetapi juga dapat
dipahami sebagai ‘diciptakan dinding dalam dalam keadaan selalu bergantung
kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri’.
Menurut Al-Qur’an, manusia secara
fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan
bagi mereka. Suasana kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat itu.
Salah satu hukum kemasyarakatan yang
amat populer -walaupun sering diterjemahkan dan dipahami secara keliru- adalah
firman Allah yang berbicara tentang hukum perubahan.
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
Artinya: “Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat
ini membicarakan tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan
masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan
kedua perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang
pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti
melalui hukum-hukum masyarakat yangg ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak
memilih kasih atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan masyarakat/kelompok
lain.
B.
Revitalisasi
Pendidikan Islam
Secara kualitas, tuntutan masyarakat di era
globalisasi terhadap institusi pendidikan Islam tidak berbeda dengan yang
dihadapi institusi pendidikan di Indonesia pada umumnya, mengingat semakin tingginya
tingkat kompetisi bagi lulusan di dunia kerja. Namun, ruang lingkup pendidikan
Islam yang luas, di mana penyelenggaraannya di madrasah, sekolah umum, dan
secara tradisional di pesantren dan majelis taklim, secara kependidikan
berpotensi semakin baik. Hal ini mengingat penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi (Information and Communication Technology) dalam dunia
pendidikan sangat membantu dalam meningkatkan layanan pendidikan yang prima,
baik secara administratif maupun akademik.
Sementara itu, diversifikasi pendidikan Islam
yang ditandai dengan penguatan pada disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial (human
and social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) semakin
membuktikan kesetaraan institusi pendidikan Islam dengan sekolah umum. Meskipun
memang secara mendasar lokus pendidikan Islam terletak pada pendidikan agama
dan keagamaan. Justru dengan demikian secara keilmuan lulusan dari lembaga
pendidikan Islam diharapkan memiliki nilai lebih (added value) bahkan
keunggulan komparatif (comparative advantage), berupa wawasan dan
pengetahuan keislaman yang relatif lebih baik.
Harapan untuk memiliki nilai lebih bagi
institusi pendidikan Islam tentu bukan persoalan mudah. Ada sejumlah
persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk mencapai target itu. Dari
segi kurikulum, misalnya, kita tidak mungkin menjadikan lembaga pendidikan
Islam mampu melahirkan lulusan yang ideal, ketika struktur kurikulum tidak
memberi ruang yang cukup bagi penguatan bidang-bidang umum secara spesifik dan
intensif; dan begitupun sebaliknya.
Pada tingkat madrasah dan Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI), pemenuhan kurikulum secara nasional perlu diekstensifikasi
dengan bidang-bidang keislaman dan kemampuan bahasa asing. Hal ini tidak
memungkinkan jika pembelajaran dilakukan tanpa terintegrasi dengan pola
pesantren (islamic boarding school). Dengan pola pendidikan berasrama,
penguatan bidang-bidang profesional dapat dilakukan secara simultan dengan
penguatan pada bidang-bidang keislaman dan pendidikan karakter (akhlak
al-karimah). Selain itu, interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan
pengelola asrama memungkinkan terciptanya pembiasaan dalam penggunaan bahasa
asing, semangat kemandirian, kultur akademik yang kompetitif, bahkan yang tak
kalah penting adalah aspek keteladanan pengamalan ajaran agama.
Inovasi dan pembaharuan juga diperlukan dalam
pola pengelolaan pendidikan Islam. Sebab, dalam masyarakat global saat ini,
institusi pendidikan Islam dituntut memiliki kinerja yang produktif, efektif,
transparan, dan akuntabel. Di pihak lain, penerapan tata kelola yang bersih dan
baik (clean and good governance) merupakan imbas positif dari
demokratisasi pada level pemerintahan yang kemudian menjadi tuntutan di semua
level organisasi, termasuk pada tingkat lembaga pendidikan. Sebab, secara tidak
langsung, baik atau buruknya pengelolaan pendidikan akan berdampak pada layanan
terhadap peserta didik di semua jenjang pendidikan.
Alhasil, pendidikan Islam di semua jenis,
jenjang, bentuk, dan pola penyelenggaraannya perlu lebih diperkuat lagi
peranannya; pertama, dari aspek keilmuan perlu dilakukan diferensiasi yang
lebih spesifik antara orientasi pengembangan akademik dan orientasi
keterampilan hidup. Kedua, dalam kapasitasnya sebagai transmitter ajaran dan
nilai-nilai keislaman dapat dimulai dengan pembudayaan dan peneladanan
pengamalan ajaran Islam pada level institusional (sekolah dan madrasah). Dengan
penguatan pada dua peran penting pendidikan Islam tersebut, pembangunan
masyarakat relijius dikonstruksi secara sistemik, dengan tidak saja atas
partisipasi dan kesadaran dari masyarakat sendiri, tapi juga ada upaya-upaya
fasilitasi dari negara melalui Kementerian Agama sebagai regulator
penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia.
C. Proses
Perubahan Sosial dalam Islam
Islam sebagai agama rahmat bagi
seluruh alam, tentu sangat memperhatikan keadaan masyarakat. Hal ini terlihat
dari bukti sejarah, bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Arab.
Kemudian terus berkembang hingga Islam tersebar ke seuruh penjuru dunia. Dan
sudah barang tentu, Islam membangun masyarakat melalui pendidikan. Karena
proses pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif dalam membangun umat
Untuk melakukan sebuah perubahan,
maka ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh manusia sebagai pelaku perubahan,
yaitu:
1. Membangun
kecerdasan dan memperluas wawasan
Manusia
sebagai makhluk yang luar biasa mempunyai potensi yang luar biasa besarnya
sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka mebangun
peradaban. Kemajuan suatu bangsa pada umumnya ditentukan oleh bangsa itu dalam
mendayagunakan sumber daya manusia melalui pergumulannya mengembangkan ilmu
pengetahuan. Maka sudah barang tentu di dalam proses pendidikan manusia
menempati sebagai subjek dan objek pendidikan itu sendiri.
Banyak
indikasi di dalam al-Quran yang memerintahkan supaya manusia, khususnya umat
Islam bersikap cerdas dan selalu menambah wawasan keilmuannya, di antaranya,
Pertama, Allah memerintahkan manusia agar
senntiasa berpikir dan menggunakan pikirannya untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi. Dan potensi untuk menambah
wawasan tersebut sudah Allah sediakan untuk manusia, seperi penglihatan,
pendengaran dan perasaan.
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS.
An-Nahl: 78)
Kedua, Allah SWT memberikan kebebasan
untuk menuntut ilmu, Allah telah
melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu. Semua manusia (khususnya muslim) baik
laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja, kapan
saja dan di mana saja. Kemudian orang-orang yang sudah mendapatkan ilmu
diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyebarkan ilmu tersebut serta tidak
menyembunyikannya. Hal ini dimaksudkan untuk kemaslahan umat manusia. Hal ini
tersirat dalam:
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Artinya:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)
Ketiga, Dengan akal manusia diperintahkan
untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengelola alam demi
keperluan hidupnya dengan cara yang bijak dan menghindari berbuat kerusakan dan pertumpahan darah.
wur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=Ìs% ÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ
Artinya:”Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik”. (QS. Al-A’raaf: 56)
Keempat, manusia diperintahkan untuk
fantasyiru fil ’ardh (bertebaran di muka bumi) dalam rangka mencari ilu
pengetahuan. Karena setiap bangsa diberi ilmu keistimewaan sendiri-sendiri. Dan
ilmu pengetahuan atau perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti,
apalagi mundur, melainkan terus berputar dan berpindah dari suatu bangsa pada
kurn waktu tertentu.
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya:
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(QS. Al-Jum’ah: 10)
Reserach pada ayat ayat kauniyah dimotivasi
Al_Qur’an untuk terus dilakukan agar tercipta masyarakat yang berperadaban
tinggi bukan masyarakat yang merugi dengan segala keterbelakangannya.
ö@è% (#rçÅ Îû ÇÚöF{$# ¢OèO (#rãÝàR$# y#ø2 c%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éjs3ßJø9$# ÇÊÊÈ
Artinya:
Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, Kemudian perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)
Kelima, kecintaan terhadap informasi atau
ilmu pengetahuan yang akhirnya menumbuhkan pada kecintaan kegiatan belajar.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa al-Quran pertama diturunkan adalah
perintah untuk membaca, yaitu mengkaji tentang hakikat Tuhan, manusia, alam,
hubungan antara ketiganya, serta fungsi masing-masing.
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan” (QS. Al-‘Alaq: 2)
2.
Membangun etos kerja
Untuk
menuju kepada sebuah perbahan sosial yang signifikan, Islam sangat
memperhatikan etos kerja. Karena etos kerja-lah yang akan menjadi pendorong
bagi manusia untuk bergerak menuju arah perubahan. Hal ini telah dibuktikan
oleh sejarah, bagaimana nabi Muhammad Saw., bisa menguasai daerah Arab dan
sekitarnya dan kemudian akhirnya Islam tersebar di seluruh penjuru dunia serta
dapat mengubah peradaban manusia. Semua itu karena etos kerja umat Islam sangat
kuat. Untuk itu, menurut Malik Fadjar ada beberapa hal penting yang perlu kita
ketahui, yaitu:
Pertama, Di dalam Islam, motivasi dasar
yang harus diletakkan oleh setiap muslim dalam menjalankan hidup ini adalah
pengabdian kepada Allah semata. Islam mengajarkan dalam hidup dan segala
aspeknya termasuk dalam mengelola pendidikan dan melakukan perubahan sosial
harus diniatkan sebagai pengabdian kepada Allah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adzariyyat 56..................................................)
Kedua, al-Qur’an menegaskan bahwa cara
terbaik untuk mendapatkan prestasi dalam hidup adalah dengan bekerja. Karena
pada dasarnya seseorang tidak akan memperoleh sesuatu kecuali sesuai dengan apa
yang ia usahakan.
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
Artinya: “Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39)
Ketiga, Dalam hidup dan bekerja, Islam
menganjarkan akan pentingnya berorientasi pada masa depan, kerja keras, teliti,
hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggung jawab, dan berorientasi pada
prestasi. Hidup harus punya cita-cita, hidup dalam Islam harus hemat dan
berpola sederhana seta tidak konsumtif dan berlebihan atau tidak kikir. Selain
itu, kerja santai, tanpa rencana, malas, boros tenaga, waktu dan biaya adalah
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dan semua masalah yang menjadi
tanggung jawabnya harus dihadapi dengan penuh rasa tanggung jawab
(responsibility) dan penuh perhitungan. Islam juga menilai, sebaik-baik
pekerjaan adalah yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya (ahasana ’amala).
Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3r& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âÍyèø9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ
Artinya:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS. Al-Mulk: 2)
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap berurutan: (1)
invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2)
difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem
sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem
social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi
jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu
perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.
Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap
tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi
yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses
terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang
memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memasukkan
tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk
yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya
inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.
Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial
dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat
perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan
kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta
masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain
sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang
baru serta adat yang berlaku.
Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan
cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan
tidak direncanakan. Tidak
ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami
perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi
unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi
disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural.
D. Pendidikan
Islam dan Perubahan Sosial menuju Masyarakat Religius
Memahami konteks pendidikan Islam di Indonesia
tidak cukup hanya dengan melihat bahwa pendidikan Islam merupakan subsistem
dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pendidikan Islam juga sekaligus sebagai
entitas tersendiri yang memiliki tradisi dan kultur akademik yang berbeda
dengan karakteristik pendidikan pada umumnya. Di antara ciri substantifnya
adalah, bahwa pendidikan Islam dibangun atas dasar kesadaran dan keyakinan umat
Islam untuk menjadi pribadi muslim yang taat (`abdullah, khalifah fi al-ard).
Maka, wajar jika pengetahuan dan wawasan keislaman merupakan prasyarat mutlak
yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam. Kesadaran semacam ini lalu menjadi
èlan vital di kalangan pemimpin agama yang secara mandiri memfasilitasi
penyelenggaraan pendidikan Islam di tengah masyarakat, baik secara individual
maupun kolektif-kolegial (organisasi keagamaan, al-jam`iyah al-diniyah).
Pondok pesantren merupakan embrio atas
dimulainya tradisi pendidikan Islam di Indonesia. Bentuk tradisional dari
pendidikan Islam tersebut hingga sekarang memang masih bertahan, meskipun
secara terus menerus dan massif tergerus oleh modernisasi, globalisasi, bahkan
kapitalisasi pendidikan yang melanda dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya
yang paling mengkhawatirkan dari transformasi pendidikan Islam ini bukan
semata-mata pada aspek kelembagaannya, melainkan pada semakin surutnya
nilai-nilai adi luhung yang menjadi urat nadi pendidikan Islam di Indonesia.
Akibat buruk yang paling tidak menguntungkan secara institusional bagi
keberadaan pendidikan Islam adalah pudarnya nilai-nilai kemandirian dan
keikhlasan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh para pemuka agama. Sementara
di sisi lain, pergeseran orientasi terhadap institusi pendidikan semakin
menjurus pada proses fabrikasi yang hanya akan melahirkan manusia-manusia robot
tanpa nilai dan kering dari moralitas agama.
Kekhawatiran semacam itu tentu tidak terlalu
berlebihan, mengingat sekarang ini ekspektasi masyarakat terhadap sistem
pendidikan yang ada lebih berkecenderungan materialistik, ketimbang ideal-moralistik.
Besar kemungkinan banyak kita jumpai orang tua murid lebih takut jika kelak
anaknya tidak mendapat pekerjaan yang pantas, daripada lebih takut anaknya akan
menjadi seorang koruptor. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan memang
perlu memperhatikan supplay and demand. Akan tetapi, pemenuhan terhadap
tuntutan masyarakat dari dunia pendidikan seharusnya tidak lalu mengorbankan
idealisme pendidikan untuk mewadahi proses pemanusiaan manusia (humanizing
human) dan proses pembudayaan masyarakat.
Di tengah persinggungan kepentingan semacam
itulah, institusi pendidikan Islam sangat berpotensi mampu memenuhi tuntutan
masyarakat modern di era global, sekaligus menjadi mercusuar dalam penguatan
nilai-nilai dan moralitas agama. Memang, memasuki abad ke-20 terjadi
transformasi besar-besaran di tubuh pendidikan Islam di Indonesia. Meski tidak
sepenuhnya meninggalkan pola pendidikan tradisional ala pesantren, tetapi
modernisasi di tubuh pesantren telah banyak mengubah rasa pesantren menjadi
sekolah umum dengan sebutan madrasah.
Nurcholish Madjid (alm.), Abdurrahman Wahid
(alm.), Karel Steenbrink, Zamachsyari Dhofier, dan Azyumardi Azra adalah
sebagian penulis yang cukup berhasil memotret proses modernisasi yang terjadi
di tubuh pesantren hingga kemudian terlahir pola pendidikan Islam dalam bentuk
madrasah. Transformasi kelembagaan di tubuh pesantren dalam banyak aspek
kependidikan memang membawa semangat pembaharuan yang positif, terutama dengan
semakin terbukanya paradigma kalangan pesantren dalam menangkap semangat zaman.
Ini tentu saja menjadi momentum bagi umat Islam untuk belajar disiplin ilmu di
luar bidang-bidang keagamaan yang selama ini menjadi satu-satunya terjemahan
dari "tholabu al-`ilmi faridhatun..." (kewajiban menuntut
ilmu) yang dipahami wajib (fardlu `ayn). Sementara pemahaman dan
kemampuan pada disiplin di luarnya dipandang fardlu kifayah, bahkan
boleh jadi sunnah.
Belakangan, diskusi soal eksistensi pendidikan
Islam tidak lagi berkutat pada aspek substantif-akademik, melainkan semakin
mengkerucut pada aspek formatif-institusional. Hal ini mengingat keberadaan
pendidikan Islam dalam berbagai pola dan bentuknya sudah diakomodasi dalam
sistem pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Namun demikian, dalam
situasi di mana terjadi peleburan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan
nasional, tentu kita harus tetap memperkuat semangat dan cita-cita awal untuk
membentengi masyarakat muslim dengan nilai-nilai dan moralitas agama. Jangan
sampai tuntutan dunia kerja dan profesional menjadi satu-satunya tujuan dari
penyelenggaraan pendidikan, tetapi pada saat yang bersamaan melupakan peran
pendidi
Ketika muncul pertanyaan
bagaimana Islam memandang perubahan sosial. Seperti apa model yang dikehendaki
Islam dalam menata sejumlah permasalahan sosial dan model perubahan apa yang
paling sesuai dengan Islam?. Maka sesungguhnya jawaban ini tidak sederhana,
tidak bisa disampaikan secara singkat. Ada begitu banyak persoalan-persoalan
yang terkait dengan jawaban pertanyaan tadi. Pertama karena kompleksnya cara
pemahaman terhadap Islam, kedua karena perspektif tiap bagian dari umat bisa
saja berbeda dalam pengambilan metode atau cara dalam melakukan perjuangan dan
pengimplementasian dari berbagai cara pandang yang berbeda tadi. Satu kelompok
dengan kelompok lainnya, walaupun sama-sama Islam, bisa saja menerapkan a
langkah dan metode yang berbeda.
Islam
sendiri kalau kita kaji secara lebih dalam, maka akan sampai pada kesimpulan
bahwa Islam adalah agama yang memang sempurna bagi aturan kehidupan manusia.
Islam ini jika jika kita artikan secara sederhana dalam bahasa Arab bisa
berarti damai, kepatuhan dan ketaatan. Dien Islam juga dapat berarti
penerimaan total terhadap ajaran dan petunjuk Allah sebagaimana diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan orang yang berislam secara umum disebut
seorang muslim. Pengertian dari seorang muslim adalah seseorang yang
mempercayai Allah dan berupaya mengatur seluruh kehidupannya berdasarkan
petunjuk yang diturunkan-Nya serta sunah-Nya. Ia juga bekerja untuk membangun
masyarakat manusia di atas dasar tauhid.
Islam
telah menetapkan hak-hak asasi manusia yang menyeluruh. Hak-hak ini harus
dilaksanakan dan dihormati dalam setiap keadaan. Untuk menjalankannya, Islam
tidak hanya melengkapinya dengan jaminan hukum, tapi juga sistem moral yang
sangat efektif. Demikianlah, apapun yang mengarah kepada kesejahteraan individu
atau masyarakat, dalam Islam di sebut moral baik, dan apapun yang merugikan di
sebut moral buruk. Islam sangat menekankan pentingnya kecintaan kepada Allah
dan kecintaan kepada sesama manusia, dan menentang formalisme. Perhatikan ayat
Al Quran berikut ini:
}§ø©9
§É9ø9$#
br&
(#q9uqè?
öNä3ydqã_ãr
@t6Ï%
É-Îô³yJø9$#
É>ÌøóyJø9$#ur
£`Å3»s9ur
§É9ø9$#
ô`tB
z`tB#uä
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur
É=»tGÅ3ø9$#ur
z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur
tA#uäur
tA$yJø9$#
4n?tã
¾ÏmÎm6ãm
Írs
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
tûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur
Îûur
ÅU$s%Ìh9$#
uQ$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
tA#uäur
no4q2¨9$#
cqèùqßJø9$#ur
öNÏdÏôgyèÎ/
#sÎ)
(#rßyg»tã
( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur
Îû
Ïä!$yù't7ø9$#
Ïä!#§Ø9$#ur
tûüÏnur
Ĩù't7ø9$#
3 y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
(#qè%y|¹
( y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
tbqà)GßJø9$#
Artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Dengan
meletakan ridha Allah sebagai tujuan hidup manusia, Islam telah dilengkapi
dengan standard moral yang tertinggi. Ini membuka cakrawala yang tak terbatas
bagi perkembangan moral manusia dalam berhubungan dengan manusia yang lain.
Aturan hubungan sesama manusia jika begitu bukan sebatas kepatutan atau sopan
santun semata, tapi sangat transendental sekali sifatnya. Jika begitu, maka
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain punya kewajiban sama, yakni
sama-sama makhluk Allah yang punya kewajiban mengabdi dan menyembah kepada-Nya.
Dalam
konteks perubahan sosial, hal ini sangat relevan karena apapun agenda
perubahan, baik yang diinginkan dirubah dalam waktu cepat (revolusi), lambat
(evolusi) ataupun tengah-tengah antara keduanya (reformasi) menjadi kurang
penting, yang justeru menjadi hal utama adalah bahwa perubahan yang dilakukan
harus dalam bingkai nilai-nilai Islam. Ini artinya cepat lambatnya perubahan
tidak terlalu menjadi persoalan dalam cara pandang Islam. Dan mengenai korban
yang umumnya terjadi dalam proses perubahan, apabila kita gunakan perspektif
Islam, maka perubahan yang ada harus tetap dilakukan dengan cara-cara yang akhsan
(baik) sehingga dengan hampir tidak mungkin perubahan dilakukan dengan cara
radikal atau penuh dengan kekerasan. Kalaupun ada korban, itu merupakan
implikasi dari proses yang terjadi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan
maka kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :
1. Dalam sejarah, Islam awalnya
mengangkat bangsa Arab dari kejahilan dan keterbelakangan menuju masyarakat yang
beradab dan kosmopolitan. Dari masyarakat primitif yang belum mengenal budaya
tulis-menulis menjadi masyarakat yang maju dalam peradaban dengan sekian ribu
karya ilmiah. Salah satu kunci kesuksesan transformasi tersebut karena diilhami
pesan Allah swt., kepada rasulullah Saw., yang menandai awal turunnya wahyu “iqra”.
2. Perubahan sosial selalu menimbulkan
perubahan dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi yang menimbulkan
berbagai dampak baik positif maupun negative dari sisi positif misalnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati seluruh
kelompok sosial masyarakat.
3. Kondisi sosial umat Islam saat ini
sungguh sangat memprihatinkan. Untuk itu diperlukan pembangunan sosial melalui
pendidikan Islam. Tentu pendidikan tersebut harus dikelola dengan baik
manajemen, kurikulum dan segala aspek yang terkait dengan pendidikan. Karena
sejarah telah membuktikan bahwa Islam ternyata pernah menciptakan perubahan
besar-besaran pada abad pertengahan.
B.
Saran
Perubahan
sosial dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, oleh karena itu
kita sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha mengendalikan perubahan
itu ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari perubahan sosial dapat
memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nahidl,
Nunu Ahmad, dkk. 2010. Pendidikan Agama di Indonesia: Gagasan dan Realita. Jakarta:
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Al-Syaibuny,
Omar M. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ballantine, Jeanne H. 1983. The Sociology of
Education. New Jersey: Prentice Hall. Inc
Burns,
Tom R, dkk, 1988, Manusia, Keputusan, Masyarakat: Teori Dinamika antara
Aktor dan Sistem untuk Ilmuwan Sosial, Jakarta: PT. Pradnya Paramita
Durkheim,
Emile. 1964. The Rules of Sociological Method. Eighth Edition,
Translated by Sarah A. Solovay and John H. Mueller. London Collier Macmillan
Publisher
Fadjar,
Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan Pendidikan
Islam Fajar Dunia
Kayam, Umar. 1993. Tranformasi
Sosial Budaya. Yogyakarta: LKIS
Mahfudh,
Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS
Miarso, Yusufhadi.
2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Parsons,
Talcott. 1974. The Structure of Social Action. Indian Edition. New York:
Free Press
Robinson,
Philip. 1981. Perspective on the Sociology of Education: An Introduction. London:
Routledge & Kegan Paul Ltd
Ronald,
M. Pavalko. 1976. Sociology of Education. Illionis: F.E. Peacock
Sarwono,
Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Shihab,
Quraish. 2007. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat. Jakarta: Penerbit Mizan
--------------------. 2009. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an Vol. 15. Jakarta:
Lentera Hati
Sahrodi, Jamali. 2008. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Arfino
Raya
Sismono,
La Ode, 2006. Di Belantara Pendidikan Bermoral. Yogyakarta: UNY Press.
Soekanto,
Soerjono. 1999. Max Weber: Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidika. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Weber,
1985, Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali
Emile Durkheim. The Rules of
Sociological Method. Eighth Edition, Translated by Sarah A. Solovay and
John H. Mueller. (London: Collier Macmillan Publisher, 1964), Hlm. 21
Soerjono Soekanto. Max Weber:
Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999). Hlm.
32
Weber. Konsep-Konsep
Dasar dalam Sosiologi. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985). Hlm. 43
La Ode Sismono. Di Belantara
Pendidikan Bermoral. (Yogyakarta: UNY Press, , 2006), Hlm. 15
Talcott
Parsons. The Structure of Social
Action. Indian Edition. (New York: Free Press, 1974). Hlm. 28
Weber, Konsep-Konsep Dasar dalam
Sosiologi, ( Jakarta: CV. Rajawali, 1985). Hlm. 12
Malik Fadjar. Reorientasi
Pendidikan Islam. (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999).
Hlm. 34
Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Sosial. (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005). Hlm. 195
Omar M
Al-Syaibuny. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Hlm. 42