Senin, 02 Juli 2012

RIVIEW BUKU SOSIOLOGI PENDIDIKAN


REVIEW BUKU

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Dosen: SUPARTO, M.Ed, Ph.D



iain syekh nurjati
 








Disusun Oleh :
FAIJAH (14116310010)
PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SMT II





PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI
 CIREBON
2012
Judul Cover    : Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan   Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Pengarang       : Dr. Dede Rosyada, MA
Penerbit           : Prenada Media
Terbit               : Cetakan I Januari 2004, Cetakan II September 2004
Tebal               : 344 hlm.

          Buku ini mencoba memaparkan tentang reformasi dan pembaharuan radikal pendidikan di Indonesia yang diangkat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni pendelegasian otoritas pendidikan pada daerah dan mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, serta pelibatan masyarakat dalam pengembangan program-program kurikuler serta pengembangan sekolah lainnya.
Kewenangan pemerintah kini adalah fasilitatif terhadap berbagai usulan pengembangan yang digagas sekolah. Paradigma baru pengelolaan sekolah ini diharapkan dapat menjadi solusi awal dalam mengatasi rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia yang berakibat pada rendahnya rata-rata kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam konteks persaingan regional dan global.
Akan tetapi, perubahan paradigma ini secara praktis perlu waktu, khususnya dalam konteks restrukturisasi sistem yang mengatur batas-batas tugas dan kewenangan antar instansi pengelola pendidikan, kemudian adaptasi sistem baru tersebut dalam praktik pengelolaan sekolah secara operasional, dan terakhir perubahan kultur yang sudah bertahun-tahun masyarakat kita terbiasa dan bahkan menikmati pola kekuasaan birokrasi, dan kini kekuasaan tersebut dibagi-bagi (sharing of power) antara daerah dan sekolah yang bermitra dengan masyarakat, baik sebagai client maupun user.
Buku ini disusun untuk berkonstribusi pemikiran-pemikiran konsepsional akademis, teoritik dan bahkan juga menyentuh dimensi praktisnya agar bisa dijadikan rujukan dalam mencoba mengembangkan pengelolaan sekolah secara demokratis, sebagaimana digagas dalam undang-undang. Kajian dan bahasan buku ini lebih banyak diarahkan pada konteks persekolahan dan tidak banyak menyentuh aspek-aspek birokrasi pendidikan. Oleh sebab itu, fokus pembahasannya terbatas hanya pada kajian evaluasi dan pengembangan yang membelajarkan sekolah yang demokratis, proses pembelajaran yang membelajarkan para siswa, serta pengelolaan sekolah yang partisipatif.
Pada bab I buku ini memaparkan isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia memasuki abad ke-21 yang mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa depatemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.
Isu tentang sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademis bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupun belum spesifik. Istilah demokratis, sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos  yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di tangan rakyat. Istilah demokrasi memang muncul dan dipakai dalam kajian politik, yang bermakna kekuasan negara berada di tangan rakyat melalui undang-undang yang diputuskan rakyat, bukan oleh kekuasaan raja atau sultan. Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. [1]
Pada bab II buku ini memaparkan tentang demokratisasi pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan pada publiknya, dengan dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana sumber belajar lainnya yang memadai. Diskursus tentang kurikulum masih terus berjalan, apakah kurikulum itu hanya bermakna Course Out Line atau GBPP, atau mencakup seluruh pengalaman yang diberikan pada anak dalam proses pendidikannya oleh guru. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa, tapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah. [2]
Kurikulum dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca serta menulis, kecakapan berhitung, dan kecakapan berkomunikasi. [3]
Kurikulum merupakan salah satu yang dijual sekolah pada pelanggannya, semakin baik kurikulum yang dirancang sekolah, maka akan semakin tinggi daya tarik sekolah tersebut bagi masyarakat. Kurikulum menjadi salah satu quality assuance dari sekolah, dan dikontrol dengan efektif oleh guru dengan kepala sekolahnya, sehingga bisa mencapai harapan-harapan sebagaimana dikehendaki dan dirumuskan bersama antara manajemen sekolah, stakeholder serta unsur-unsur masyarakat lain yang memberikan dukungan pada sekolah tersebut.
Model proses perumusan kurikulum yang memberdayakan potensi-potensi horizontal sekolah, sudah menuju pada model sekolah demokratis, yakni sekolah yang lebih banyak ditentukan oleh komunitasnya sendiri, bukan oleh kekuasaan pusat yang jauh dari kenyataan lokal.
Sekolah harus memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba membahas persoalan-persoalan current event, seperti problem-problem law enforcement, lingkungan, konflik etnis, masa depan masyarakat, serta pajak dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah.[4] Ini semua untuk memperkuat pembiasaan mereka menjadi masyarakat demokratis, karena inti demokrasi adalah kekuasaan pada rakyat, dan untuk itu perlu keterbukaan. Mereka harus menjadi bagian dalam kultur keterbukaan tersebut.
Pada bab III buku ini memaparkan tentang mengajar yang membelajarkan. Mengajar, inilah kata kunci yang sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah proses pendidikan. Tingkat keberhasilan mengajar bukan pada seberapa banyak ilmu yang disampaikan guru pada siswa, tapi seberapa besar guru memberi peluang pada siswa untuk belajar dan memperoleh segala sesuatu yang ingin diketahuinya guru hanya memfasilitasi para siswanya untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya.
Upaya melaksanakan pembelajaran yang menekankan pada pengaktifan belajar siswa didasarkan atas asumsi-asumsi tertentu, yakni kegiatan belajar merupakan suatu proses kontinyu dan bervariasi, dalam proses belajar ada keterlibatan mental dari siswa secara optimal, komunikasi dalam pembelajaran berlangsung dalam banyak arah, untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa perlu menggunakan berbagai metode pembelajaran yang efektif.[5]
Pembelajaran yang dapat melahirkan kecakapan siswa dalam menyelesaikan masalah, memang terbilang isu baru dalam wacana pendidikan di Indonesia yang sains minded dan menjadi permasalahan besar termasuk mengidentifikasikan masalah itu sendiri. Apa sebenarnya masalah itu? Ini merupakan sebuah masalah, apalagi kalau kita yang sedang menghadapi masalah, justru tidak mampu mendefinisikan masalah itu sendiri.
Pada bab terakhir buku ini memaparkan tentang manajemen berbasis sekolah sebagai sebuah agenda perubahan. Pengembangan, peningkatan dan perbaikan pendidikan harus dilakukan secara holistik dan simultan, tidak boleh parsial walaupun mungkin dilakukan bertahap. Perbaikan sektor kurikulum, tenaga guru dan fasilitas serta sarana pembelajaran, tidak akan terlalu membawa perubahan signifikan jika tidak disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajemen yang mendukung perubahan-perubahan tersebut. Dinamika guru dalam pengembangan program pembelajaran tidak akan bermakna bagi perbaikan proses dan hasil belajar siswa, jika manajemen sekolahnya tidak memberi peluang tumbuh dan berkembangnya kreativitas guru tersebut. demikian pula penambahan dan penguatan sumber belajar berupa perpustakaan dan laboratorium tidak akan terlalu bermakna jika manajemen sekolahnya tidak memberi perhatian serius dalam optimalisasi pemanfaatan sumber belajar tersebut dalam proses belajar siswa. Manajemen, memang merupakan sesuatu yang amat bermakna dalam perubahan menuju sebuah perbaikan.
Mulyasa mengemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.[6]

Buku ini layak dibaca oleh para pengelola sekolah, para guru yang menjadi bagian penting dari setiap sekolah dalam jenjang, jenis apa pun, dan untuk para mahasiswa yang memiliki minat untuk menjadi guru, dan suatu ketika akan menjadi guru.





DAFTAR PUSTAKA




Enco Mulyasa, 2004, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

--------------------, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; sebuah panduan praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Michael W. Apple, 1995, Democratic School, Virginia: ASCD Alexandria

Roger Soder, 1996, Democracy, Education and School, San Francisco: Jossey Bass

Ronald C Doll, 1964, Curriculum Improvement, Decision Making and Process, Boston:  Allyn and Bacon

Sumiati, 2008, Metode Pembelajaran, Bandung: CV Wacana Prima




[1]Roger Soder,  Democracy, Education and School, San Francisco, Jossey Bass, 1996, 2
[2] Ronald C Doll, Curriculum Improvement, Decision Making and Process, Boston, Allyn and Bacon, 1964, 15
[3]Enco Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; sebuah panduan praktis, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006, 47
[4] Michael W. Apple, Democratic School, Virginia, ASCD Alexandria, 1995, 16
[5] Sumiati, Metode Pembelajaran, Bandung, CV Wacana Prima, 2008, 39
[6]Enco Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004, 24 

PENDIDIKAN ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL


peranan PENDIDIKAN ISlam dalam PERUBAHAN SOSIAL
MENUJU MASYARAKAT RELIGIUS


MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Dosen: SUPARTO, M.Ed, Ph.D



iain syekh nurjati


Disusun Oleh :
FAIJAH (14116310010)
PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SMT II




PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI
 CIREBON
2012
KATA PENGANTAR


      Segala puja dan puji bagi Allah yang Maha Agung dan Maha Sempurna atas semua sifat-Nya.
 Shalawat dan salam kepada Rasulullah, Muhammad SAW, yang telah memberi petunjuk jalan yang benar.
            Syukur alhamdulillah penulis telah menyelesaikan tugas ini dengan judul Peranan Pendidikan Islam dalam Perubahan Sosial menuju Masyarakat Religius untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada  program studi Pendidikan Islam konsentrasi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana  IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
                   Dalam penulisan tugas ini diusahakan semaksimal mungkin kearah kesempurnaan dengan bimbingan bapak dosen, namun demikian kiranya perlu disadari bahwa masih terdapat beberapa kekurangan.
                  Untuk itulah penulis dengan segala rendah hati mohon kiranya ada kritik  dan saran demi perbaikan selanjutnya.
      Akhirnya penulis berharap semoga penulisan tugas ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
                                                                                                                                                                                    P e n u l i s

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR           …………………………………………………      i
DAFTAR ISI                          …………………………………………………      i
BAB I PENDAHULUAN     …………………………………………………      1
BAB II PEMBAHASAN      …………………………………………………      2
A.    Teks Ayat              …………………………………………………      3
B.     Asbabunuzul Ayat                        …………………………………………      4 
C.     Peranan Guru dalam Pengajaran    .……………………………….       4
D.    Rasul sebagai Role Model bagi Guru dalam Pengajaran  ……..….       8
BAB III PENUTUP               …………………………………………………     13
DAFTAR  PUSTAKA      ………………………………………………….…     14                    


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
            Pendidikan adalah segala kegiatan yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kehidupan. Pendidikan berlangsung di segala jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan hidup, yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada di dalam diri individu, sehingga mampu mengubah dan mengembangkan dirinya menjadi dewasa, cerdas, dan matang. Dalam langkah kegiatan pendidikan selanjutnya, ketiga sasaran tersebut, menjadi kerangka kebudayaan hidup manusia.[1]
            Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para masyarakat dalam menunjang pradaban hidup mereka karena itulah pada banyak masyarakat selalu mendapatkan problematika yang bermacam-macam yang datang secara langsung maupun tidak langsung dari komunitas yang dijadikan sebagai sasaran dakwah.
Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia sangat pesat yang dimulai dari masuknya dari daerah Aceh dengan tujuan menyebarkan agama dakwah dengan menjual rempat-rempah.
Menurut Emile Durkheim (1964) ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.[2]
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya.[3] Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan.
Penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.[4]
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Berbagai macam kasus atau perilaku sosial yang amoral sering kali terjadi, mulai dari perampokan, pelecehan seksual, pencurian, minum-minuman keras, narkoba, kekerasan dan lain sebagainya. Padahal, di Indonesia banyak lembaga-lembaga pendidikan. Seharusnya dengan adanya lembaga pendidikan maka kondisi bangsa juga akan menjadi baik.
Hal di atas sungguh sangat paradoks. Di satu sisi Indonesia mempunyai banyak lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi (PT). Namun di sisi lain, Indonesia mengalami dekadensi moral. Sehingga menjadikan situasi sosial masyarakat  tidak kondusif.
Lebih-lebih masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim, dan juga mayoritas pelaku kejahatan sosial juga mengaku dirinya muslim. Satu hal yang menjadi tanda tanya besar. Kenapa bangsa Indonesia yang mayoritas muslim masih banyak ditemukan kejahatan-kejahatan di masyarakat?.
Menurut penulis letak kesalahannya adalah pada pendidikan moralnya yang kurang optimal. Dalam hal ini, pendidikan Islam memegang peranan penting untuk merubah kondisi sosial masyarakat Indonesia. Karena Islam adalah agama yang telah menyebarkan nilai-nilai sosial mulia, seperti nilai moralitas, humanitas dan religiusitas. Maka sudah saatnya pendidikan Islam sadar akan perannya di tengah kondisi bangsa yang morat-marit ini.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat judul Peranan Pendidikan Islam dalam perubahan Sosial Menuju Masyarakat Religius dengan harapan, pendidikan islam bisa lebih diperhatikan lagi oleh para praktisi pendidikan demi kontribusi yanng berarti untuk meningkatkan kualitas moral bangsa.

A.      Rumusan Masalah
       Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana peranan pendidikan Islam dalam perubahan sosial menuju masyarakat religius.

B.       Tujuan
       Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan pendidikan Islam dalam perubahan sosial menuju masyarakat religius.

BAB  II
PEMBAHASAN


A.   Definisi Pendidikan Islam, Perubahan Sosial dan Masyarakat
1.      Pendidikan Islam
Menurut Sismono La Ode, pendidikan merupakan proses pendewasaan anak melalui berbagai program dan kegiatan dalam konteks, baik formal maupun non formal. Dan hasil akhir pendidikan adalah pembentukan insan yang berkualitas, berakhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mandiri dan berguna bagi sesama manusia, masyarakat dan bangsanya.[5]
Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan Islam, yatiu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Pertama, kata raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara. Firman Alah yang mendukung istilah tarbiyah antara lain terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 24.
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹
            Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".
Istilah kedua adalah ta’lim, yaitu proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Adapun istilah ta’dib berasal dari kata adab yang berarti berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal.
Sementara itu, terma pendidikan Islami dapat dipahami sebagai proses pewarisan atau usaha sadar muslim dalam mewariskan pengalaman, ajaran, dogma, dan tradisi kepada generasi berikutnya. Dalam terma pendidikan Islami, tidak terbatas pada pewarisan ajaran yang sesuai dengan teks-teks agama tetapi juga tradisi, dogma, kebiasaan, pengalaman, dan hal-hal yang baik yang pernah dilakukan oleh komunitas muslim masa lalu. Jadi, pendidikan di kalangan dunia Islam tidak terbatas pada mempelajari teks-teks agama, melainkan juga pada tradisi, pandangan, dan praktik-praktik transformasi pengetahuan serta cara mewariskan pengetahuan, ilmu, dan keyakinan.[6]
2.      Perubahan Sosial
                 Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat dalam hubungan sosial sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Perubahan-perubahan sosial sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.[7]
Perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Ada tiga tahapan perubahan masyarakat. Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun. Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut. Masyarakat etis, yakni masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis, bukan oleh kepentingan bendawi. Pendidikan pada masyarakat sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam mempengaruhi manusia.[8]
3.      Masyarakat
Menurut Quraish Shihab, masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu baik kecil maupun besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus, atau hukuman khas, dan hidup bersama. Ada beberapa kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk arti masyarakat atau kumpulan manusia, yaitu qaum, ummah, syu’ub, dan qabail. Di samping itu al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu seperti, al-mustakbirun, al-mustadh’afun dan lain sebagainya.[9]
Manusia adalah ‘makhluk sosial’. Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut. Khalaqal insaan min ‘alaq bukan saja diartikan sebagai ‘menciptakan manusia dari segumpal darah’ atau ‘sesuatu yang berdempet di dinding rahim’, tetapi juga dapat dipahami sebagai ‘diciptakan dinding dalam dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri’. [10]
Menurut Al-Qur’an, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan bagi mereka. Suasana kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat itu.
Salah satu hukum kemasyarakatan yang amat populer -walaupun sering diterjemahkan dan dipahami secara keliru- adalah firman Allah yang berbicara tentang hukum perubahan.
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3    
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
            Ayat ini membicarakan tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan  kedua perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yangg ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan masyarakat/kelompok lain.[11]

B.       Revitalisasi Pendidikan Islam
Secara kualitas, tuntutan masyarakat di era globalisasi terhadap institusi pendidikan Islam tidak berbeda dengan yang dihadapi institusi pendidikan di Indonesia pada umumnya, mengingat semakin tingginya tingkat kompetisi bagi lulusan di dunia kerja. Namun, ruang lingkup pendidikan Islam yang luas, di mana penyelenggaraannya di madrasah, sekolah umum, dan secara tradisional di pesantren dan majelis taklim, secara kependidikan berpotensi semakin baik. Hal ini mengingat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology) dalam dunia pendidikan sangat membantu dalam meningkatkan layanan pendidikan yang prima, baik secara administratif maupun akademik.[12]
Sementara itu, diversifikasi pendidikan Islam yang ditandai dengan penguatan pada disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial (human and social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) semakin membuktikan kesetaraan institusi pendidikan Islam dengan sekolah umum. Meskipun memang secara mendasar lokus pendidikan Islam terletak pada pendidikan agama dan keagamaan. Justru dengan demikian secara keilmuan lulusan dari lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki nilai lebih (added value) bahkan keunggulan komparatif (comparative advantage), berupa wawasan dan pengetahuan keislaman yang relatif lebih baik.
Harapan untuk memiliki nilai lebih bagi institusi pendidikan Islam tentu bukan persoalan mudah. Ada sejumlah persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk mencapai target itu. Dari segi kurikulum, misalnya, kita tidak mungkin menjadikan lembaga pendidikan Islam mampu melahirkan lulusan yang ideal, ketika struktur kurikulum tidak memberi ruang yang cukup bagi penguatan bidang-bidang umum secara spesifik dan intensif; dan begitupun sebaliknya.
Pada tingkat madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), pemenuhan kurikulum secara nasional perlu diekstensifikasi dengan bidang-bidang keislaman dan kemampuan bahasa asing. Hal ini tidak memungkinkan jika pembelajaran dilakukan tanpa terintegrasi dengan pola pesantren (islamic boarding school). Dengan pola pendidikan berasrama, penguatan bidang-bidang profesional dapat dilakukan secara simultan dengan penguatan pada bidang-bidang keislaman dan pendidikan karakter (akhlak al-karimah). Selain itu, interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan pengelola asrama memungkinkan terciptanya pembiasaan dalam penggunaan bahasa asing, semangat kemandirian, kultur akademik yang kompetitif, bahkan yang tak kalah penting adalah aspek keteladanan pengamalan ajaran agama.[13]
Inovasi dan pembaharuan juga diperlukan dalam pola pengelolaan pendidikan Islam. Sebab, dalam masyarakat global saat ini, institusi pendidikan Islam dituntut memiliki kinerja yang produktif, efektif, transparan, dan akuntabel. Di pihak lain, penerapan tata kelola yang bersih dan baik (clean and good governance) merupakan imbas positif dari demokratisasi pada level pemerintahan yang kemudian menjadi tuntutan di semua level organisasi, termasuk pada tingkat lembaga pendidikan. Sebab, secara tidak langsung, baik atau buruknya pengelolaan pendidikan akan berdampak pada layanan terhadap peserta didik di semua jenjang pendidikan.[14]
Alhasil, pendidikan Islam di semua jenis, jenjang, bentuk, dan pola penyelenggaraannya perlu lebih diperkuat lagi peranannya; pertama, dari aspek keilmuan perlu dilakukan diferensiasi yang lebih spesifik antara orientasi pengembangan akademik dan orientasi keterampilan hidup. Kedua, dalam kapasitasnya sebagai transmitter ajaran dan nilai-nilai keislaman dapat dimulai dengan pembudayaan dan peneladanan pengamalan ajaran Islam pada level institusional (sekolah dan madrasah). Dengan penguatan pada dua peran penting pendidikan Islam tersebut, pembangunan masyarakat relijius dikonstruksi secara sistemik, dengan tidak saja atas partisipasi dan kesadaran dari masyarakat sendiri, tapi juga ada upaya-upaya fasilitasi dari negara melalui Kementerian Agama sebagai regulator penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia.

C.   Proses Perubahan Sosial dalam Islam
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam, tentu sangat memperhatikan keadaan masyarakat. Hal ini terlihat dari bukti sejarah, bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Arab. Kemudian terus berkembang hingga Islam tersebar ke seuruh penjuru dunia. Dan sudah barang tentu, Islam membangun masyarakat melalui pendidikan. Karena proses pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif dalam membangun umat
Untuk melakukan sebuah perubahan, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh manusia sebagai pelaku perubahan, yaitu: [15]
1.    Membangun kecerdasan dan memperluas wawasan
Manusia sebagai makhluk yang luar biasa mempunyai potensi yang luar biasa besarnya sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka mebangun peradaban. Kemajuan suatu bangsa pada umumnya ditentukan oleh bangsa itu dalam mendayagunakan sumber daya manusia melalui pergumulannya mengembangkan ilmu pengetahuan. Maka sudah barang tentu di dalam proses pendidikan manusia menempati sebagai subjek dan objek pendidikan itu sendiri.
            Banyak indikasi di dalam al-Quran yang memerintahkan supaya manusia, khususnya umat Islam bersikap cerdas dan selalu menambah wawasan keilmuannya, di antaranya,
Pertama, Allah memerintahkan manusia agar senntiasa berpikir dan menggunakan pikirannya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi. Dan potensi untuk menambah wawasan tersebut sudah Allah sediakan untuk manusia, seperi penglihatan, pendengaran dan perasaan.
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl: 78)

Kedua, Allah SWT memberikan kebebasan untuk menuntut ilmu,  Allah telah melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu. Semua manusia (khususnya muslim) baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Kemudian orang-orang yang sudah mendapatkan ilmu diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyebarkan ilmu tersebut serta tidak menyembunyikannya. Hal ini dimaksudkan untuk kemaslahan umat manusia. Hal ini tersirat dalam:
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Artinya: “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)

Ketiga, Dengan akal manusia diperintahkan untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengelola alam demi keperluan hidupnya dengan cara yang bijak dan menghindari  berbuat kerusakan dan pertumpahan darah.
Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=ƒÌs% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ
Artinya:”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-A’raaf: 56)

Keempat, manusia diperintahkan untuk fantasyiru fil ’ardh (bertebaran di muka bumi) dalam rangka mencari ilu pengetahuan. Karena setiap bangsa diberi ilmu keistimewaan sendiri-sendiri. Dan ilmu pengetahuan atau perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti, apalagi mundur, melainkan terus berputar dan berpindah dari suatu bangsa pada kurn waktu tertentu.
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah: 10)

Reserach pada ayat ayat kauniyah dimotivasi Al_Qur’an untuk terus dilakukan agar tercipta masyarakat yang berperadaban tinggi bukan masyarakat yang merugi dengan segala keterbelakangannya.
ö@è% (#r玍ŠÎû ÇÚöF{$# ¢OèO (#rãÝàR$# y#øŸ2 šc%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éjs3ßJø9$# ÇÊÊÈ
Artinya: Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, Kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)

Kelima, kecintaan terhadap informasi atau ilmu pengetahuan yang akhirnya menumbuhkan pada kecintaan kegiatan belajar. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa al-Quran pertama diturunkan adalah perintah untuk membaca, yaitu mengkaji tentang hakikat Tuhan, manusia, alam, hubungan antara ketiganya, serta fungsi masing-masing.
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan” (QS. Al-‘Alaq: 2)

2. Membangun etos kerja
Untuk menuju kepada sebuah perbahan sosial yang signifikan, Islam sangat memperhatikan etos kerja. Karena etos kerja-lah yang akan menjadi pendorong bagi manusia untuk bergerak menuju arah perubahan. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah, bagaimana nabi Muhammad Saw., bisa menguasai daerah Arab dan sekitarnya dan kemudian akhirnya Islam tersebar di seluruh penjuru dunia serta dapat mengubah peradaban manusia. Semua itu karena etos kerja umat Islam sangat kuat. Untuk itu, menurut Malik Fadjar ada beberapa hal penting yang perlu kita ketahui, yaitu:
Pertama, Di dalam Islam, motivasi dasar yang harus diletakkan oleh setiap muslim dalam menjalankan hidup ini adalah pengabdian kepada Allah semata. Islam mengajarkan dalam hidup dan segala aspeknya termasuk dalam mengelola pendidikan dan melakukan perubahan sosial harus diniatkan sebagai pengabdian kepada Allah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adzariyyat 56..................................................)


Kedua, al-Qur’an menegaskan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan prestasi dalam hidup adalah dengan bekerja. Karena pada dasarnya seseorang tidak akan memperoleh sesuatu kecuali sesuai dengan apa yang ia usahakan.
br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39)
Ketiga, Dalam hidup dan bekerja, Islam menganjarkan akan pentingnya berorientasi pada masa depan, kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggung jawab, dan berorientasi pada prestasi. Hidup harus punya cita-cita, hidup dalam Islam harus hemat dan berpola sederhana seta tidak konsumtif dan berlebihan atau tidak kikir. Selain itu, kerja santai, tanpa rencana, malas, boros tenaga, waktu dan biaya adalah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dan semua masalah yang menjadi tanggung jawabnya harus dihadapi dengan penuh rasa tanggung jawab (responsibility) dan penuh perhitungan. Islam juga menilai, sebaik-baik pekerjaan adalah yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya (ahasana ’amala).
Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3ƒr& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âƒÍyèø9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”  (QS. Al-Mulk: 2)

Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap berurutan: (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.[16]
Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memasukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.
Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.
Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan. Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural.

D.   Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial menuju Masyarakat Religius
Memahami konteks pendidikan Islam di Indonesia tidak cukup hanya dengan melihat bahwa pendidikan Islam merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pendidikan Islam juga sekaligus sebagai entitas tersendiri yang memiliki tradisi dan kultur akademik yang berbeda dengan karakteristik pendidikan pada umumnya. Di antara ciri substantifnya adalah, bahwa pendidikan Islam dibangun atas dasar kesadaran dan keyakinan umat Islam untuk menjadi pribadi muslim yang taat (`abdullah, khalifah fi al-ard). Maka, wajar jika pengetahuan dan wawasan keislaman merupakan prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam. Kesadaran semacam ini lalu menjadi èlan vital di kalangan pemimpin agama yang secara mandiri memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan Islam di tengah masyarakat, baik secara individual maupun kolektif-kolegial (organisasi keagamaan, al-jam`iyah al-diniyah).[17]
Pondok pesantren merupakan embrio atas dimulainya tradisi pendidikan Islam di Indonesia. Bentuk tradisional dari pendidikan Islam tersebut hingga sekarang memang masih bertahan, meskipun secara terus menerus dan massif tergerus oleh modernisasi, globalisasi, bahkan kapitalisasi pendidikan yang melanda dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya yang paling mengkhawatirkan dari transformasi pendidikan Islam ini bukan semata-mata pada aspek kelembagaannya, melainkan pada semakin surutnya nilai-nilai adi luhung yang menjadi urat nadi pendidikan Islam di Indonesia. Akibat buruk yang paling tidak menguntungkan secara institusional bagi keberadaan pendidikan Islam adalah pudarnya nilai-nilai kemandirian dan keikhlasan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh para pemuka agama. Sementara di sisi lain, pergeseran orientasi terhadap institusi pendidikan semakin menjurus pada proses fabrikasi yang hanya akan melahirkan manusia-manusia robot tanpa nilai dan kering dari moralitas agama.[18]
Kekhawatiran semacam itu tentu tidak terlalu berlebihan, mengingat sekarang ini ekspektasi masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada lebih berkecenderungan materialistik, ketimbang ideal-moralistik. Besar kemungkinan banyak kita jumpai orang tua murid lebih takut jika kelak anaknya tidak mendapat pekerjaan yang pantas, daripada lebih takut anaknya akan menjadi seorang koruptor. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan memang perlu memperhatikan supplay and demand. Akan tetapi, pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat dari dunia pendidikan seharusnya tidak lalu mengorbankan idealisme pendidikan untuk mewadahi proses pemanusiaan manusia (humanizing human) dan proses pembudayaan masyarakat.[19]
Di tengah persinggungan kepentingan semacam itulah, institusi pendidikan Islam sangat berpotensi mampu memenuhi tuntutan masyarakat modern di era global, sekaligus menjadi mercusuar dalam penguatan nilai-nilai dan moralitas agama. Memang, memasuki abad ke-20 terjadi transformasi besar-besaran di tubuh pendidikan Islam di Indonesia. Meski tidak sepenuhnya meninggalkan pola pendidikan tradisional ala pesantren, tetapi modernisasi di tubuh pesantren telah banyak mengubah rasa pesantren menjadi sekolah umum dengan sebutan madrasah.
Nurcholish Madjid (alm.), Abdurrahman Wahid (alm.), Karel Steenbrink, Zamachsyari Dhofier, dan Azyumardi Azra adalah sebagian penulis yang cukup berhasil memotret proses modernisasi yang terjadi di tubuh pesantren hingga kemudian terlahir pola pendidikan Islam dalam bentuk madrasah. Transformasi kelembagaan di tubuh pesantren dalam banyak aspek kependidikan memang membawa semangat pembaharuan yang positif, terutama dengan semakin terbukanya paradigma kalangan pesantren dalam menangkap semangat zaman. Ini tentu saja menjadi momentum bagi umat Islam untuk belajar disiplin ilmu di luar bidang-bidang keagamaan yang selama ini menjadi satu-satunya terjemahan dari "tholabu al-`ilmi faridhatun..." (kewajiban menuntut ilmu) yang dipahami wajib (fardlu `ayn). Sementara pemahaman dan kemampuan pada disiplin di luarnya dipandang fardlu kifayah, bahkan boleh jadi sunnah.[20]
Belakangan, diskusi soal eksistensi pendidikan Islam tidak lagi berkutat pada aspek substantif-akademik, melainkan semakin mengkerucut pada aspek formatif-institusional. Hal ini mengingat keberadaan pendidikan Islam dalam berbagai pola dan bentuknya sudah diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Namun demikian, dalam situasi di mana terjadi peleburan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional, tentu kita harus tetap memperkuat semangat dan cita-cita awal untuk membentengi masyarakat muslim dengan nilai-nilai dan moralitas agama. Jangan sampai tuntutan dunia kerja dan profesional menjadi satu-satunya tujuan dari penyelenggaraan pendidikan, tetapi pada saat yang bersamaan melupakan peran pendidi
Ketika muncul pertanyaan bagaimana Islam memandang perubahan sosial. Seperti apa model yang dikehendaki Islam dalam menata sejumlah permasalahan sosial dan model perubahan apa yang paling sesuai dengan Islam?. Maka sesungguhnya jawaban ini tidak sederhana, tidak bisa disampaikan secara singkat. Ada begitu banyak persoalan-persoalan yang terkait dengan jawaban pertanyaan tadi. Pertama karena kompleksnya cara pemahaman terhadap Islam, kedua karena perspektif tiap bagian dari umat bisa saja berbeda dalam pengambilan metode atau cara dalam melakukan perjuangan dan pengimplementasian dari berbagai cara pandang yang berbeda tadi. Satu kelompok dengan kelompok lainnya, walaupun sama-sama Islam, bisa saja menerapkan a langkah dan metode yang berbeda.
Islam sendiri kalau kita kaji secara lebih dalam, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang memang sempurna bagi aturan kehidupan manusia. Islam ini jika jika kita artikan secara sederhana dalam bahasa Arab bisa berarti damai, kepatuhan dan ketaatan. Dien Islam juga dapat berarti penerimaan total terhadap ajaran dan petunjuk Allah sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan orang yang berislam secara umum disebut seorang muslim. Pengertian dari seorang muslim adalah seseorang yang mempercayai Allah dan berupaya mengatur seluruh kehidupannya berdasarkan petunjuk yang diturunkan-Nya serta sunah-Nya. Ia juga bekerja untuk membangun masyarakat manusia di atas dasar tauhid.
 Islam telah menetapkan hak-hak asasi manusia yang menyeluruh. Hak-hak ini harus dilaksanakan dan dihormati dalam setiap keadaan. Untuk menjalankannya, Islam tidak hanya melengkapinya dengan jaminan hukum, tapi juga sistem moral yang sangat efektif. Demikianlah, apapun yang mengarah kepada kesejahteraan individu atau masyarakat, dalam Islam di sebut moral baik, dan apapun yang merugikan di sebut moral buruk. Islam sangat menekankan pentingnya kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada sesama manusia, dan menentang formalisme. Perhatikan ayat Al Quran berikut ini:
 }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# 
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 177)
Dengan meletakan ridha Allah sebagai tujuan hidup manusia, Islam telah dilengkapi dengan standard moral yang tertinggi. Ini membuka cakrawala yang tak terbatas bagi perkembangan moral manusia dalam berhubungan dengan manusia yang lain. Aturan hubungan sesama manusia jika begitu bukan sebatas kepatutan atau sopan santun semata, tapi sangat transendental sekali sifatnya. Jika begitu, maka antara manusia yang satu dengan manusia yang lain punya kewajiban sama, yakni sama-sama makhluk Allah yang punya kewajiban mengabdi dan menyembah kepada-Nya.
 Dalam konteks perubahan sosial, hal ini sangat relevan karena apapun agenda perubahan, baik yang diinginkan dirubah dalam waktu cepat (revolusi), lambat (evolusi) ataupun tengah-tengah antara keduanya (reformasi) menjadi kurang penting, yang justeru menjadi hal utama adalah bahwa perubahan yang dilakukan harus dalam bingkai nilai-nilai Islam. Ini artinya cepat lambatnya perubahan tidak terlalu menjadi persoalan dalam cara pandang Islam. Dan mengenai korban yang umumnya terjadi dalam proses perubahan, apabila kita gunakan perspektif Islam, maka perubahan yang ada harus tetap dilakukan dengan cara-cara yang akhsan (baik) sehingga dengan hampir tidak mungkin perubahan dilakukan dengan cara radikal atau penuh dengan kekerasan. Kalaupun ada korban, itu merupakan implikasi dari proses yang terjadi.




BAB  III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :
1.     Dalam sejarah, Islam awalnya mengangkat bangsa Arab dari kejahilan dan keterbelakangan menuju masyarakat yang beradab dan kosmopolitan. Dari masyarakat primitif yang belum mengenal budaya tulis-menulis menjadi masyarakat yang maju dalam peradaban dengan sekian ribu karya ilmiah. Salah satu kunci kesuksesan transformasi tersebut karena diilhami pesan Allah swt., kepada rasulullah Saw., yang menandai awal turunnya wahyu “iqra”.
2.     Perubahan sosial selalu menimbulkan perubahan dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negative dari sisi positif misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati seluruh kelompok sosial masyarakat.
3.     Kondisi sosial umat Islam saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Untuk itu diperlukan pembangunan sosial melalui pendidikan Islam. Tentu pendidikan tersebut harus dikelola dengan baik manajemen, kurikulum dan segala aspek yang terkait dengan pendidikan. Karena sejarah telah membuktikan bahwa Islam ternyata pernah menciptakan perubahan besar-besaran pada abad pertengahan.

B.    Saran
Perubahan sosial dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, oleh karena itu kita sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha mengendalikan perubahan itu ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari perubahan sosial dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.
DAFTAR PUSTAKA



An-Nahidl, Nunu Ahmad, dkk. 2010. Pendidikan Agama di Indonesia: Gagasan dan Realita. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan

Al-Syaibuny, Omar M. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Ballantine,  Jeanne H. 1983. The Sociology of Education. New Jersey: Prentice Hall. Inc

Burns, Tom R, dkk, 1988, Manusia, Keputusan, Masyarakat: Teori Dinamika antara Aktor dan Sistem untuk Ilmuwan Sosial, Jakarta: PT. Pradnya Paramita

Durkheim, Emile. 1964. The Rules of Sociological Method. Eighth Edition, Translated by Sarah A. Solovay and John H. Mueller. London Collier Macmillan Publisher

Fadjar, Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia

Hidayat, Dudung Rahmat, dkk. 2007. Pendidikan Agama: Urgensi dan Tantangan. Jakarta: PT. Imtima

Kayam, Umar. 1993. Tranformasi Sosial Budaya. Yogyakarta: LKIS
Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS

Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Parsons, Talcott. 1974. The Structure of Social Action. Indian Edition. New York: Free Press

Robinson, Philip. 1981. Perspective on the Sociology of Education: An Introduction. London: Routledge & Kegan Paul Ltd

Ronald, M. Pavalko. 1976. Sociology of Education. Illionis: F.E. Peacock

Rosyada, Dede. 2004.  Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Shihab, Quraish. 2007. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Penerbit Mizan

--------------------. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan

--------------------. 2009. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 15.  Jakarta: Lentera Hati
Sahrodi, Jamali. 2008.  Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Arfino Raya
Sismono, La Ode, 2006. Di Belantara Pendidikan Bermoral. Yogyakarta: UNY Press.

Soekanto, Soerjono. 1999. Max Weber: Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidika. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Weber, 1985, Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali





[1] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), Hlm. 79
[2] Emile Durkheim. The Rules of Sociological Method. Eighth Edition, Translated by Sarah A. Solovay and John H. Mueller. (London: Collier Macmillan Publisher, 1964), Hlm. 21

[3] Soerjono Soekanto. Max Weber: Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999). Hlm. 32

[4] Weber. Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologi. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985). Hlm. 43

[5]La Ode Sismono. Di Belantara Pendidikan Bermoral. (Yogyakarta: UNY Press, , 2006), Hlm. 15


[6] Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Arfino Raya, 2008), Hlm. 20
[7] Talcott Parsons. The Structure of Social Action. Indian Edition. (New York: Free Press, 1974). Hlm. 28

[8] Weber, Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologi, ( Jakarta: CV. Rajawali, 1985). Hlm. 12
[9] Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007). Hlm. 319
[10] Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 15.  (Jakarta: Lentera Hati, 2009). Hlm. 459
 [11] Quraish Shihab. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 2007). Hlm. 79
[12] Yusufhadi Miarso. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. (Jakarta: Kencana, 2004). Hlm. 482
[13] Dudung Rahmat Hidayat, dkk. Pendidikan Agama: Urgensi dan Tantangan. (Jakarta: PT. Imtima, 2007). Hlm. 3
[14] Dede Rosyada. Paradigma Pendidikan Demokratis. (Jakarta: Kencana, 2004). Hlm. 23
[15] Malik Fadjar. Reorientasi Pendidikan Islam. (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999). Hlm. 34

[16]  Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Sosial. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).  Hlm. 195
[17] Omar M Al-Syaibuny. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Hlm. 42
[18] Sahal Mahfudh. Nuansa Fiqih Sosial. (Yogyakarta: LKiS, 1994). Hlm. 257
[19] Umar Kayam. Tranformasi Sosial Budaya. (Yogyakarta: LKIS, 1993). Hlm. 177
[20] Said Aqil Siroj. Tasawuf: Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi.(Bandung: Mizan, 2006). Hlm. 223