Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
KAJIAN KURIKULUM PAI
Dosen:
Dr. SAIFUDIN ZUHRI, M.Ag
Disusun Oleh :
AMIN
LABAIK (14116310003)
PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SMT II
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI
CIREBON
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT
atas nikmat yang diberikan.
Shalawat beserta
salam kepada Rasulullah, Muhammad SAW yang telah
memberi petunjuk jalan yang benar.
Alhamdulillah penulis telah
menyelesaikan tugas review buku Pendidikan
Agama Islam untuk Sekolah Dasar kelas Tiga
untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Kurikulum PAI
pada program pascasarjana program studi Pendidikan Islam konsentrasi
Pendidikan Agama Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Dalam penulisan
tugas ini diusahakan semaksimal mungkin kearah kesempurnaan dengan bimbingan
bapak dosen, namun demikian kiranya perlu disadari bahwa masih terdapat
beberapa kekurangan.
Untuk itulah penulis dengan segala
rendah hati mohon kiranya ada kritik dan
saran demi perbaikan selanjutnya.
Penulis berharap semoga Review Buku ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis
pada khususnya.
P e n u l i s
REVIEW
BUKU
Judul Buku : Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar kelas Tiga
Penulis : Sukatno, S.Ag
dan Drs. H. Fadilah Ahmadi AM
Penerbit : CV DUTA KARYA ILMU JAKARTA
Tahun Terbit : 2007
Tebal Buku : 143 Halaman
DESKRIPSI BUKU
Buku
ajar ini digunakan sebagai buku acuan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam
di Sekolah Dasar. Buku ini representatif sebagai salah satu sarana pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar dilengkapi dengan ilustrasi melalui
gambar-gambar. Sisipan kata-kata hikmah didalamnya diharapkan mampu memotivasi
siswa untuk menjadi jiwa yang kokoh dan kompetitif di zamannnya. Akan tetapi
selain memiliki kelebihan dari segi konten buku ini juga memiliki kekurangan yang
kiranya perlu kreatifitas untuk memperkayanya.
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK SEBAGAI
PISAU ANALISIS
Karakteristik Perkembangan anak
usia kelas awal SD
Anak yang berada di kelas awal SD
adalah anak yang berada pada rentangan usia belajar dengan cara bermain. Masa
usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat
penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh
potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara
optimal.
Karakteristik perkembangan anak
pada kelas tiga SD biasanya pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan,
mereka telah mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Mereka telah dapat
melompat dengan kaki secara bergantian, dapat mengendarai sepeda roda dua,
dapat menangkap bola dan telah berkembang koordinasi tangan dan mata untuk
dapat memegang pensil maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan sosial
anak yang berada pada usia kelas awal SD antara lain mereka telah dapat
menunjukkan keakuannya tentang jenis kelaminnya, telah mulai berkompetisi
dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri.
Perkembangan emosi anak rentang
usia 8-9 tahun antara lain anak telah dapat mengekspresikan reaksi terhadap
orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orang tua
dan telah mulai belajar tentang benar dan salah. Untuk perkembangan
kecerdasannya anak usia kelas awal SD ditunjukkan dengan kemampuannya dalam
melakukan variasi, mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan,
meningkatnya perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan
berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.
Cara Anak Belajar
Piaget (1950) menyatakan bahwa
setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi
dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak
memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada
dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam
lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses
asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan
akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan
objek).
Kedua proses tersebut jika
berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru
menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun
pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut,
maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam
dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena
memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan
lingkungannya. Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret.
Pada rentang usia tersebut anak
mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut: (1) Mulai memandang dunia
secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara
reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) Mulai berpikir secara
operasional, (3) Mempergunakan cara berpikir operasional untuk
mengklasifikasikan benda-benda, (4) Membentuk dan mempergunakan keterhubungan
aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab
akibat, dan (5) Memahami suatu konsep.
Memperhatikan tahapan perkembangan
berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga
ciri, yaitu:
1. Konkrit.
Konkrit
mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang
dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik
penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan
lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan
bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya,
keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan
kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2. Integratif
Pada
tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu
keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu,
hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke
bagian demi bagian.
3.
Hirarkis
Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang
secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih
kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai
urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman
materi.
Belajar dan Pembelajaran Bermakna
Belajar merupakan proses perubahan di dalam
kepribadian yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, dan kepandaian. Perubahan
ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari
latihan atau pengalaman. Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antar
anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan
pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam
lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Proses belajar
bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri
individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya.
Belajar bermakna (meaningfull
learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada
konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh
terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi
baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa.
Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka,
tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman
yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak
mudah dilupakan.
Dengan demikian, agar terjadi
belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali
konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan membantu memadukannya secara
harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.
Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa
yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan
guru menjelaskan.
ANALISIS BUKU
Pendidikan agama di sekolah-sekolah
di Indonesia setidaknya memiliki dua kekurangan mendasar. Pertama,
pendidikan agama selama ini masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik,
ritualistik, dan legal-formalistik. Kedua, pendidikan agama masih bertumpu
pada ranah kognitif (intelektual) dan kurang menggarap ranah afektif (emosional)
serta psikomotorik.
Ketika
mencoba meneliti dan memahami buku pelajaran tersebut, agama Islam menjadi kurang menarik untuk
diakrabi. Sebagai pembaca, saya tidak dapat melibatkan diri dengan
materi-materi yang ada di buku pelajaran tersebut.
Padahal, sudah sangat jelas bahwa buku pelajaran PAI tidak sekadar memuat segepok pengetahuan. Ia memuat "nilai" dan mungkin malah lebih daripada itu. Nilai-nilai yang dikandung oleh buku pelajaran PAI itulah yang memungkinkan buku tersebut dapat berperan sebagai pembangun akhlak (karakter). Memang, agar buku pelajaran PAI dapat secara efektif membantu membangun akhlak yang baik, ia perlu dibantu dan didukung oleh banyak hal. Ada sistem pendidikan yang menyenangkan, ada guru agama yang menguasai bidangnya dan memiliki metode mengajar yang baik, dan sebagainya.
Padahal, sudah sangat jelas bahwa buku pelajaran PAI tidak sekadar memuat segepok pengetahuan. Ia memuat "nilai" dan mungkin malah lebih daripada itu. Nilai-nilai yang dikandung oleh buku pelajaran PAI itulah yang memungkinkan buku tersebut dapat berperan sebagai pembangun akhlak (karakter). Memang, agar buku pelajaran PAI dapat secara efektif membantu membangun akhlak yang baik, ia perlu dibantu dan didukung oleh banyak hal. Ada sistem pendidikan yang menyenangkan, ada guru agama yang menguasai bidangnya dan memiliki metode mengajar yang baik, dan sebagainya.
Hanya,
karena fokus kita kali ini adalah tentang buku, saya pun ingin bertahan untuk
menunjukkan bahwa buku tetap dapat berperan sebagai pembangun akhlak. Kunci
buku pelajaran PAI sebagai pembangun akhlak ada pada apakah buku tersebut
berhasil menyajikan nilai-nilai luhur dan mulia yang dikandung oleh agama Islam
atau tidak. Setelah itu, jika nilai-nilai itu memang ada, apakah cara menyajikan
nilai-nilai itu menarik dan mudah dipahami oleh para siswa atau tidak, setelah
dua hal itu, apakah buku itu memiliki otoritas (kewibawaan) sebagai buku yang
memang layak menyampaikan nilai-nilai penting tersebut atau tidak.
Ilustrasi
yang digambarkan dalam buku ajar ini mengesankan pendidikan agama yang
konvensional dengan model pembelajaran yang berpusat pada guru. Untuk
pencapaian tujuan pembelajaran yang bermakna dibutuhkan keterlibatan siswa
secara aktif, sehingga pendalaman keberagamaan siswa mampu inheren dalam
dirinya.
Stygma
Pendidikan Agama Islam yang memihak pada superioritas laki-laki juga terkesan
dalam buku ajar ini, terlihat dalam ilustrasi dan peran tokoh didominasi oleh
tokoh laki-laki. Sebagai agama yang mempunyai jargon Rahmatalilalamin, Islam
laiknya bisa mengakomodir eksistensi perempuan termasuk dalam pendidikan dan
pengajaran yang tercermin dari muatan kurikulum dan bahan ajar yang digunakan
dalam proses transmisi pendidikan nilai nilai yang equality gender.
TELA’AH KRITIS TERHADAP BUKU
Pertama.
Materi
pendidikan agama terdiri dari al-Qur’an, aqidah, akhlak, fikih dan tarikh.
Materi-materi yang diajarkan berdiri sendiri dan belum tersusun dalam the body
of knowledge. Komponen tersebut
merupakan hasil adaptasi kurikulum PAI di Madrasah Ibtidaiyah.
Kecenderungan materi al-Qur’an bernuansa
normatif yang sangat kental, tanpa diimbangi dengan penalaran empiris dan
realistis. Materi aqidah cenderung
normatif dan klasik. Aqidah disampaikan bernuansa teologis teosentris belum
dikenalkan pada sistem aqidah antroposentris yang bernuansakan pembelaan
terhadap kemanusiaan manusia. Materi Fiqih masih bersifat formlistik
ritualistik. Siswa digiring pada pola ibadah vertikal belum digiring pada
imlementasi dan penalaran kesalehan sosial. Materi akhlak hanya mengetengahkan materi
yang hampir sama dengan PKn. materi akhlak lebih terfokus pada pengayaan
pengetahuan kognitif dan minim dalam pembentukan sikap serta pembiasaan (psikomotorik).
Materi sejarah masih cenderung menunjukkan superioritas umat Islam dahulu atas
umat Islam lain.
Kedua. Dalam penyusunan materi ajar PAI,
permasalahan aktual yang dihadapi siswa, pembelajaran
yang menyenangkan, kebermaknaan, kontekstual
learning dalam buku ajar ini belum optimal terwakilkan.
Diperlukan
restrukturisasi materi ajar PAI yang lebih sensitif terhadap kebutuhan peserta
didik dan pengembangan pembelajaran PAI terpadu
sehingga siswa mendapatkan pemahaman agama yang lebih utuh.
Ketiga. Tawaran pengembangan pembelajaran
PAI terpadu dapat dilakukan empat model integrasi yaitu: model terhubung (connected),
model (Squenced), model tematik webbed dan model integrated antar bidang
studi. Permasalahan anak yang dapat diintegrasikan terutama masalah, emosional
dan fondasi teologisnya.
REKOMENDASI DAN SARAN
Rekomendasi
dan saran ini ditujukan kepada seluruh penyelenggara pendidikan dan pengembang
kurikulum (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan, sekolah, guru, praktisi
pendidikan dan penulis buku ajar).
Rekomendasi/saran
penulis sebagai berikut :
1. Dalam mendesain kurikulum
sebagai arah penyusunan buku ajar, hendaknya disusun konsep kurikulum yang
berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Konsep ini dapat membawa siswa
bergeser perannya dari obyek pendidikan
yang pasif menjadi subyek yang aktif.
2. Dalam hal orientasi,
pengembangan buku ajar PAI sangat cocok menganut konsep berbasis kebutuhan
peserta didik, karena PAI membutuhkan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan orientasi ini, PAI akan benar-benar aplikatif dalam kehidupan siswa.
3. Di era desentralisasi
pendidikan, pengembangan materi ajar PAI sangat dibutuhkan untuk merespon
problem empirik dalam kehidupan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna
dengan prinsip contekstual learning.
******
Apakah buku ini masih ada beredar?
BalasHapusJika sudah tidak ada bagaimana saya bisa mendapatkannya?